(Rudi Jusuf Setiono, trainer dan kontributor Majalah MARKETING)
Senin, 02 Januari 2012
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook
Gaya memasarkan ala Jepang sebenarnya sudah mengalami proses perubahan,
sejalan dengan konsep kaizen mereka yang selalu melakukan perbaikan. Dulu
mereka berfokus pada me-too product. Kini keunggulan mereka tidak hanya di
teknologi, tetapi juga value terhadap konsumen. Tak heran, produk-produk mereka
memiliki resale value yang tinggi.
Fokus perusahaan Jepang pada dekade tahun 1955 sampai 1965 adalah
pengembangan produk yang dikendalikan oleh perkembangan teknologi. Perhatian
utama perusahaan Jepang pada waktu itu terfokus pada ekspansi bagian R & D
(riset dan pengembangan) untuk menyusul teknologi Barat yang pada waktu itu
memimpin 5 sampai 8 tahun lebih maju. Banyak perusahaan Jepang pada waktu itu
mengirimkan tim investigasi ke pasar Amerika dan Eropa dan melakukan duplikasi
produk me-too. Mereka lakukan ini untuk memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia,
dan sekaligus mencuri pangsa pasar negara Barat. Jika posisi pemimpin pasar
telah diraih, maka perusahaan Jepang dapat memiliki keunggulan bersaing di
pasar untuk beberapa tahun ke depan.
Selama periode tersebut, bidang pengembangan produk perusahaan Jepang hanya
mengikuti langkah-langkah yang dilakukan negara-negara Barat. Bahkan,
perusahaan Jepang saat itu tidak melakukan studi dan riset pengembangan produk
khusus untuk pasar di Indonesia. Pada awal era ini, teori dan teknik marketing
sebenarnya mulai diperkenalkan dan disosialisasikan pada perusahaan Jepang.
Mereka mulai mempelajari dan mengadopsi teknik dan metode riset pemasaran,
promosi penjualan, dan perencanaan produk. Namun, divisi pemasaran pada waktu
itu masih menekankan pada aktivitas menjual (selling oriented). Pokoknya
pemasar harus dapat menjual produk yang telah dikembangkan oleh bagian riset di
laboratorium dan produksi di pabrik.
Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan Jepang mulai memperkenalkan dan
menerapkan metode baru dalam melakukan riset pasar. Mereka mulai melakukan
perencanaan dan pengembangan produk, serta aktivitas promosi penjualan dengan
benar. Banyak perusahaan Jepang melakukan modernisasi dan perbaikan secara
internal (continuous process improvement), tapi sayangnya saat itu aspek
distribusi belum disentuh secara optimal.
Dekade tahun 1965 sampai 1975 merupakan era “marketing gimmick”. Era
pemasaran ini terjadi pada masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dimana terjadi
demam pembelian (buying fever). Di Indonesia, produksi Jepang mulai menjejali pasar.
Di samping itu, terjadi perkembangan yang pesat di modern retail outlets, baik
yang bersifat independent maupun chain stores. Belanja konsumen didorong dengan
kegiatan periklanan dan sales promotion, serta visual merchandising. Produk
yang dipromosikan bisa sangat populer dengan aktivitas TV commercial yang
gencar.
Dalam hal bersaing, pada periode ini perusahaan Jepang berusaha keras untuk
menjadi cost leader. Mereka berfokus untuk menekan biaya tanpa mengurangi
spesifikasi yang dibutuhkan konsumen.
Lewat era itu, perusahaan Jepang semakin memperbaiki gaya pemasaran mereka.
Perusahaan Jepang saat ini sudah menerapkan total marketing system. Produk yang
dihasilkan perusahaan Jepang yang berhasil di pasar tidak lagi ditentukan oleh
ide para insinyur atau dengan melakukan me-too products, atau strategi
periklanan yang menarik. Tapi, lebih ditentukan oleh penampilan produk,
keunggulan nilai produk (functional value & emotional value) yang dimiliki,
serta misi sosial (social mission) yang dijalankan perusahaan.
Produk-produk perusahaan Jepang yang diciptakan saat ini didapat dengan
terus menggali pengetahuan akan konsumen lewat consumer insight. Mereka kini
memiliki keharusan untuk menciptakan produk yang benar-benar bermanfaat bagi
masyarakat. Selain itu, produk tersebut harus diciptakan dengan dukungan penuh
dari teknologi kreatif dan kompetensi perusahaan. Tidak hanya itu, produk yang
diciptakan juga harus memiliki struktur biaya yang kompetitif, melalui tes
konsumen pada setiap fase pengembangan produk, dan tentunya memiliki keunikan
yang harus dikomunikasikan pada setiap tahap saluran distribusi.
Toyota Kijang adalah contohnya. Inovasi yang berkelanjutan merupakan
pendorong utama Toyota Kijang menjadi market leader di pasar otomotif
Indonesia. Inovasi ini tentunya ditunjang dengan desain dan teknologi. Di
samping itu, dalam aktivitas promosi Kijang selalu konsisten memosisikan diri
sebagai family car. Keunggulan lainnya adalah faktor distribusi dan service
yang prima. Tidak kalah pentingnya adalah Toyota Kijang memiliki nilai jual
kembali (resale value) yang tinggi. Seperti kita ketahui, banyak juga
perusahaan otomotif Jepang lainnya yang sukses, seperti Honda, Yamaha, Suzuki,
Daihatsu, yang memiliki kemiripan dengan Toyota. Maklum, mereka menjalankan gaya
pemasaran yang mirip.
(Rudi Jusuf Setiono, trainer dan kontributor Majalah MARKETING)
(Rudi Jusuf Setiono, trainer dan kontributor Majalah MARKETING)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar